Sering terdengar dalam telinga kita akhir-akhir ini masalah kenaikan
upah minimum regional (UMR) di DKI Jakarta. Penuntutan kenaikan upah buruh ini
diajukan oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) kepada Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. Permintaan akan kenaikan UMR berkisar antara 500 ribu sampai 700
ribu atau naik sebesar 35% sampai 50% jika dibandingkan UMR pada awal tahun
2012. Kenaikan UMR ini terhitung cukup tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan
UMR tahun 2003-2011 yang berkisar antara 5% sampai 20%. Lantas, bagaimanakah
dampak kenaikan UMR ini terhadap perekonomian nasional?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengenal sedikit lebih dalam tentang UMR. UMR merupakan sebuah standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha dan perusahaan untuk menetapkan besarnya upah untuk para pekerjanya, termasuk buruh, karyawan, dan pegawai perusahaan. Mekanisme pembentukan UMR dilaksanakan melalui sebuah penelitian dimana komponen-komponen UMR merupakan harga barang konsumsi pokok sehari-hari. Hasil dari pembentukan harga tersebut kemudian akan menjadi bahan dasar penetapan UMR. Selanjutnya, penetapan UMR dilakukan melalui berbagai modifikasi atas kepentingan pengusaha, pekerja, pemerintah, dan juga masyarakat. Standar UMR ini mencakup lingkup daerah dan diperbaharui setiap tahun, sehingga tingkat UMR di tiap daerah juga berbeda.
Kembali ke topik awal terkait dampak dari kenaikan UMR di DKI Jakarta. Kenaikan UMR di DKI Jakarta merupakan suatu event yang krusial dan berpengaruh terhadap tingkat UMR nasional. Jakarta merupakan suatu ibu kota yang menjadi pusat perhatian nasional, sehingga kenaikan UMR di Jakarta akan memicu kenaikan UMR di daerah lainnya. Lalu, siapakah pihak yang paling merasakan dampak langsung atas kenaikan UMR ini?
Pengusaha sebagai produsen tentunya pihak yang paling kebakaran jenggot atas kenaikan UMR ini. Kenaikan UMR ini akan menaikan biaya produksi pengusaha karena upah buruh, sebagai pihak yang juga terkena dampak langsung kenaikan UMR, akan naik secara signifikan. Kenaikan upah buruh ini akan menyisakan dua pilihan untuk produsen jika ingin tetap berproduksi, yaitu menekan biaya produksi lain atau menaikan harga barang. Pilihan pertama akan mengurangi kualitas dari barang yang diproduksi, sedangkan pilihan kedua, yang menurut saya adalah pilihan mayoritas para produsen, akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Kenaikan harga barang tentunya tidak hanya terjadi di beberapa jenis barang saja, tetapi juga akan mencakup seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat. Bayangkan harga barang-barang seperti sabun, pasta gigi, pakaian, makanan, dan lain-lain naik, tentunya biaya hidup masyarakat juga akan naik. Hal inilah yang biasa kita sebut inflasi. Pada awalnya, para buruh akan menikmati kenaikan UMR dalam periode lag atas penyesuaian harga barang konsumsi di pasar. Namun, setelah periode lag ini berakhir, kenaikan harga barang di pasar akan mengurangi kemampuan buruh dalam menjalankan kegiatan konsumsi. Tentunya, bukan hanya buruh saja yang merasakan impairment atas kemampuan spending-nya, melainkan masyarakat juga akan merasakan dampakny
Kenaikan UMR dan kenaikan inflasi dapat dianalogikan dengan filosofi telur dan ayam, dimana kita tidak akan dapat menemukan manakah yang lebih dahulu terjadi, sehingga fenomena ini akan terus terjadi sampai para pelaku ekonomi memberikan treat kepada salah satu dari dua hal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, kita harus dapat melihat dari sudut lain selain dua hal diatas. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menyadari suatu blind spot yang sebenarnya memicu kenaikan UMR. Kenaikan UMR tidak selalu disebabkan oleh kenaikan harga barang akibat kenaikan biaya produksi perusahaan, melainkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi. Faktor tersebut salah satunya adalah kurangnya ketersediaan pangan di Indonesia. UMR sebesar 2,2 juta rupiah jika ditelaah lebih lanjut sebenarnya belum mencukupi kebutuhan normal sehari-hari para pekerja karena harga pangan yang tinggi. Penuntutan kenaikan UMR terjadi karena para pekerja khususnya buruh merasa penghasilannya tidak dapat menghidupi kebutuhan sehari-hari. Jika pengatasan masalah ini selalu dilakukan dengan cara menaikan UMR, maka masalah ini tidak akan ada habisnya.
Oleh karena itu, secara normatif fokus permasalahan ini harusnya tertuju kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan ke hal-hal terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti bahan pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Langkah awal yang sangat disarankan adalah memulai dari pemenuhan pangan karena bagaimanapun hal ini merupakan kebutuhan paling dasar manusia.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengenal sedikit lebih dalam tentang UMR. UMR merupakan sebuah standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha dan perusahaan untuk menetapkan besarnya upah untuk para pekerjanya, termasuk buruh, karyawan, dan pegawai perusahaan. Mekanisme pembentukan UMR dilaksanakan melalui sebuah penelitian dimana komponen-komponen UMR merupakan harga barang konsumsi pokok sehari-hari. Hasil dari pembentukan harga tersebut kemudian akan menjadi bahan dasar penetapan UMR. Selanjutnya, penetapan UMR dilakukan melalui berbagai modifikasi atas kepentingan pengusaha, pekerja, pemerintah, dan juga masyarakat. Standar UMR ini mencakup lingkup daerah dan diperbaharui setiap tahun, sehingga tingkat UMR di tiap daerah juga berbeda.
Kembali ke topik awal terkait dampak dari kenaikan UMR di DKI Jakarta. Kenaikan UMR di DKI Jakarta merupakan suatu event yang krusial dan berpengaruh terhadap tingkat UMR nasional. Jakarta merupakan suatu ibu kota yang menjadi pusat perhatian nasional, sehingga kenaikan UMR di Jakarta akan memicu kenaikan UMR di daerah lainnya. Lalu, siapakah pihak yang paling merasakan dampak langsung atas kenaikan UMR ini?
Pengusaha sebagai produsen tentunya pihak yang paling kebakaran jenggot atas kenaikan UMR ini. Kenaikan UMR ini akan menaikan biaya produksi pengusaha karena upah buruh, sebagai pihak yang juga terkena dampak langsung kenaikan UMR, akan naik secara signifikan. Kenaikan upah buruh ini akan menyisakan dua pilihan untuk produsen jika ingin tetap berproduksi, yaitu menekan biaya produksi lain atau menaikan harga barang. Pilihan pertama akan mengurangi kualitas dari barang yang diproduksi, sedangkan pilihan kedua, yang menurut saya adalah pilihan mayoritas para produsen, akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Kenaikan harga barang tentunya tidak hanya terjadi di beberapa jenis barang saja, tetapi juga akan mencakup seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat. Bayangkan harga barang-barang seperti sabun, pasta gigi, pakaian, makanan, dan lain-lain naik, tentunya biaya hidup masyarakat juga akan naik. Hal inilah yang biasa kita sebut inflasi. Pada awalnya, para buruh akan menikmati kenaikan UMR dalam periode lag atas penyesuaian harga barang konsumsi di pasar. Namun, setelah periode lag ini berakhir, kenaikan harga barang di pasar akan mengurangi kemampuan buruh dalam menjalankan kegiatan konsumsi. Tentunya, bukan hanya buruh saja yang merasakan impairment atas kemampuan spending-nya, melainkan masyarakat juga akan merasakan dampakny
Kenaikan UMR dan kenaikan inflasi dapat dianalogikan dengan filosofi telur dan ayam, dimana kita tidak akan dapat menemukan manakah yang lebih dahulu terjadi, sehingga fenomena ini akan terus terjadi sampai para pelaku ekonomi memberikan treat kepada salah satu dari dua hal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, kita harus dapat melihat dari sudut lain selain dua hal diatas. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menyadari suatu blind spot yang sebenarnya memicu kenaikan UMR. Kenaikan UMR tidak selalu disebabkan oleh kenaikan harga barang akibat kenaikan biaya produksi perusahaan, melainkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi. Faktor tersebut salah satunya adalah kurangnya ketersediaan pangan di Indonesia. UMR sebesar 2,2 juta rupiah jika ditelaah lebih lanjut sebenarnya belum mencukupi kebutuhan normal sehari-hari para pekerja karena harga pangan yang tinggi. Penuntutan kenaikan UMR terjadi karena para pekerja khususnya buruh merasa penghasilannya tidak dapat menghidupi kebutuhan sehari-hari. Jika pengatasan masalah ini selalu dilakukan dengan cara menaikan UMR, maka masalah ini tidak akan ada habisnya.
Oleh karena itu, secara normatif fokus permasalahan ini harusnya tertuju kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan ke hal-hal terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti bahan pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Langkah awal yang sangat disarankan adalah memulai dari pemenuhan pangan karena bagaimanapun hal ini merupakan kebutuhan paling dasar manusia.
http://forum.kompas.com/ekonomi-umum/218635-kenaikan-umr-filosofi-telur-ayam-dan-blind-spot.html